Pertengahan September 2019 yang lalu, aku dan orang tuaku kembali melakukan travelling. Kali ini tujuan kami adalah Hainan, sebuah pulau paling selatan dari negara Republik Rakyat Cina.
Penerbangan 4,5 Jam
Berangkat dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, aku merasakan penerbangan terlamaku seumur hidup hingga saat ini. Kurang lebih 4,5 jam penerbangan dari Soekarno-Hatta hingga mendarat di Meilan International Airport, Haikou, Hainan. Ditambah dengan selisih waktu sebanyak 1 jam, membuat penerbangannya seolah-olah menjadi 5,5 jam.


Setelah mengambil bagasi, kami langsung menuju hotel untuk beristirahat sesaat, maklum saja, karena keluar bandara saja sudah jam 2 pagi waktu Hainan. Oh ya, Hainan ini beriklim tropis ya, mirip-mirip dengan iklim di Indonesia, dan di siang hari, hawanya cukup panas dan membuat berkeringat, jadi tidak perlu repot-repot membawa jaket yang tebal ya.
Arcade Street
Setelah beristirahat sejenak dan sarapan, kami bersiap menuju tempat perhentian pertama kami, yaitu Arcade Street. Arcade Street ini sendiri merupakan daerah kota tua di Hainan, sama seperti Kota Tua di Jakarta. Di lokasi ini terdapat banyak rumah makan dan menyajikan suasana kota tua.

Di lokasi ini juga terdapat semacam pasar tradisional, namun pasar ini menjual berbagai macam makanan muali dari mie, sampai masakan berbahan daging. Bagi yang suka suasana-suasana layaknya di kota tua di Indonesia, daerah kota tua di Hainan ini juga cukup menarik untuk menjadi pengisi feed Instagram.

Oh ya, untuk teman-teman yang muslim, di Hainan tidak susah kok mencari makanan halal, yang penting kalau mau makan, lihat-lihat dulu apakah rumah makannya menyajikan daging babi atau tidak ya, tapi tidak susah kok mencari makanan halal, jadi jangan khawatir ya soal makan.
Usai berkeliling di Arcade Street, kami melanjutkan perjalanan kami menuju Desa Bali.
Desa Bali
Terletak di daerah Xinglong, Sanya, Desa Bali ini adalah sebuah tempat wisata dengan arsitektur bernuansa Bali. Jangan heran kalau di Desa Bali ini orang-orang yang ada disana bisa berbahasa Indonesia, karena memang sebagian besar orang-orang yang ada disini aslinya berasal dari Indonesia, hanya saja sekarang sudah menjadi warga negara RRC, namun masih ada juga yang memiliki keluarga atau kerabat di Indonesia.

Desa Bali menyajikan pemandangan berupa arsitektur Bali, ada juga dinding-dinding yang dihiasi dengan gambar-gambar ala Bali. Bahkan tanaman-tanaman di Desa Bali ini juga banyak yang merupakan tanaman asli Indonesia seperti Kelapa dan Nangka. Desa Bali ini sendiri tidak terbentuk tiba-tiba. Awalnya daerah ini digunakan sebagai tempat penampungan warga Asia Tenggara yang memiliki keturunan Tionghoa pada tahun 1960an, termasuk orang Indonesia. Karena banyaknya orang Indonesia disana, akhirnya mereka menyebarkan kebudayaan Indonesia disana dan terbentuklah Desa Bali ini.
Di jam-jam tertentu juga bakal ada pertunjukan tarian dari orang-orang yang ada disana, dengan lagu berbahasa Indonesia juga. Cukup menarik sih, mengingat sebenarnya Desa Bali ini terletak di negeri Cina.

Di Desa Bali ini juga terdapat pabrik kecil untuk pembuatan kue semprong, jadi memang tempat ini memiliki nuansa Indonesia yang cukup kental.

Setelah beberapa jam berkeliling Desa Bali, aku dan rombongan kembali menuju bus untuk bertolak menuju kota Sanya untuk beristirahat disana. Hari pertama (dan kedua) di Hainan pun berakhir.
Wew, ada uga Desa Bali di sana ya. Mereka bisa bahasa Indo dan Mandarin dong ya dik?
Btw, apakah saat ke Desa Bali teringat akan mantan? wkwkwkwkwk
LikeLike
Iya ada Ry, bisaaa hahah malah salah satu org yg dsana masih punya keluarga di Bogor
Aduh mantan lagii wkwk
LikeLike
Wah sepertinya menyenangkan sekali bisa baca plang berbahasa Indonesia di negara lain. 😀
LikeLike
Yeshhh hahha
LikeLiked by 1 person