Hari ketiga di Sumba! Perjalanan hari ketigaku di Sumba, dimulai dengan menyambangi air terjun Lapopu, dilanjutkan dengan Bukit Wairinding dan berakhir di pantai Walakiri…
Air Terjun Lapopu
Pagi hari itu, setelah sarapan dan check out dari penginapan, kami langsung berangkat menuju tujuan pertama kami pada hari itu, yaitu Air Terjun Lapopu. Terletak di Desa Hatikuloku, Kecamatan Wanokaka, Sumba Barat, air terjun yang memiliki ketinggian 90 meter ini dikenal sebagai air terjun tertinggi di NTT. Memakan waktu sekitar 1,5 jam perjalanan dari penginapan kami di Tambolaka, kami akhirnya sampai setelah melalui jalan yang cukup berkelok-kelok dan sempit.
Pertama kali menjejakkan kaki di area parkir air terjun Lapopu, ada satu hal yang menarik perhatianku, yaitu tarif masuk ke kawasan air terjun Lapopu ini. Tertulis pada spanduk tersebut, pada hari biasa, tarif masuk untuk turis lokal adalah Rp 5.000,- dan untuk turis asing Rp 150.000,-. Sedangkan, pada hari libur, untuk turis lokal adalah Rp 7.500,- sedangkan untuk turis asing Rp 225.000,-. Perbedaan tarif yang cukup jauh ini sebenarnya menarik perhatianku, apa perlu se-jomplang ini perbedaan tarif antara turis lokal dan turis asing?Ah, tapi sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan menuju air terjun Lapopu.
Air Terjun Lapopu ini berada di dalam kawasan Taman Nasional Menupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (ManaLawa) di Pulau Sumba. Untuk menuju air terjun ini, kami harus berjalan kaki kurang lebih 15 menit (dipandu oleh seorang pemandu) , menyusuri tepi sungai dan juga menyeberangi sebuah jembatan bambu. Satu-satunya hal yang cukup menegangkan adalah saat menyeberangi jembatan bambu tersebut, namun aman kok.


Selain air terjun Lapopu, di dalam TN ManaLawa terdapat 2 air terjun lagi, yaitu air terjun Laputi dan Matayangu, namun air terjun Lapopu ini adalah yang paling unik. Keunikan air terjun Lapopu ini adalah ia bertangga-tangga sebelum pada akhirnya sampai di kolamnya, sedangkan 2 air terjun yang lainnya langsung turun ke bawah menuju kolamnya.

Di air terjun Lapopu ini kami diperbolehkan untuk main air (berenang), namun karena pada hari kemarin (baca : Have You Ever Heard of Sumba? – Day 2) aku sudah puas bermain air di Danau Weekuri, aku memutuskan untuk berfoto saja, dan mempersilahkan yang lainnya jika ingin berenang, namun ternyata, pada hari itu kami semua hanya ingin berfoto saja…

Puas berfoto di Air Terjun Lapopu, kami kembali ke area parkir dan memutuskan untuk menyantap makan siang kami di sana, karena setelah ini ,perjalanan panjang menuju Waingapu sudah menunggu!
Bukit Wairinding
Seusai makan siang, aku dan rombongan langsung melanjutkan perjalanan menuju Waingapu, namun sebelum menuju kotanya, kami menyempatkan diri untuk singgah di Bukit Wairinding. Berjarak sekitar 101 km (2-3 jam perjalanan dengan mobil) dari Air Terjun Lapopu. Bukit Wairinding menawarkan pemandangan perbukitan yang diselimuti hamparan rumput hijau.

Saranku, kalau ingin mendatangi bukit ini, kelihatannya waktu terbaiknya adalah saat menjelang matahari tenggelam, karena aku dan rombongan mencapai tempat ini pada saat matahari sedang tinggi-tingginya dan matharinya terasa sangat menyengat. Nonetheless, this place is still great! Buat para pembaca, terutama yang tinggal di Jakarta dan kota-kota besar lain yang setiap hari cuma bisa liat gedung kantornya nyakar-nyakar langit dan berjibaku dengan kemacetan, pemandangan perbukitan ini bisa jadi obat stress yang baik, karena di Bukit Wairinding ini, pandangan kita bisa jauh ke depan, tidak terhalang gedung-gedung tinggi, rasanya bebas gitu. Belum lagi bisa dengan bebasnya memandang langit biru yang luas, kalo di kota, bisanya kan cuma lihat langit-langit (plafon) ya?

Sakura Sumba
Dari Bukit Wairinding menuju Kota Waingapu, kami berhenti sejenak di perbatasan kota. Ada apa disini?Ternyata disini tumbuh sebuah pohon yang oleh pemandu kami disebut dengan Sakura Sumba. Memang sekilas mirip pohon Sakura Jepang sih, namun sayangnya, menurut pemandu kami, bunga Sakura Sumba ini paling bagus saat akhir September, sedangkan kami datang di bulan Oktober dimana sebagian besar bunganya sudah gugur.

Lanjut! Meninggalkan Sakura Sumba, kami menuju Pantai Walakiri, Sumba Timur.
Pantai Walakiri
Pantai Walakiri! Pantai yang terletak di Sumba Timur ini berjarak kurang lebih 40 km dari Kota Waingapu. Pantai ini sangat mudah di akses, jalan menuju pantai Walakiri dari kota Waingapu inipun sudah berupa aspal, namun belum ada lampu Penerangan Jalan Umum, sehingga harus berhati-hati saat berkendara pada malam hari di jalan ini.
Pantai ini terkenal akan keindahan dan keunikan pemandangannya saat sunset. Lalu apa keunikannya? Keunikan pantai ini terletak pada adanya adanya pohon-pohon mangrove kerdil yang ada di bibir pantai. Pada saat air pasang, memang pohon-pohon ini tidak kelihatan, namun tunggulah sampai air mulai surut, maka pohon-pohon mangrove kerdil ini akan muncul. Pada saat sunset, perpaduan antara langit senja dan siluet pohon mangrove yang seolah menari-nari ini menjadi pemandangan yang sungguh unik dan belum tentu kita dapatkan di pantai lain.

Saat matahari mulai tenggelam, pengunjung di pantai Walakiri ini bertambah ramai. Semua berlomba-lomba menciptakan foto terbaik dengan menggunakan langit senja dan pohon-pohon mangrove kerdil, tidak terkecuali aku dan rombongan. Terkadang, ketika aku mengintip melalui kamera, pohon-pohon mangrove ini seakan menyambut ajakan para pengunjung untuk berfoto. Mungkin mereka juga menari, dengan caranya sendiri, dengan cara yang hanya dimengerti oleh sesama pohon mangrove.

Tidak berapa lama kemudian, matahari sudah benar-benar kembali ke peraduannya. Aku dan rombongan memutuskan untuk mengakhiri hari itu dengan melanjutkan perjalanan kembali ke pusat kota Waingapu dan menuju penginapan. Rasa lelah di badan tentu terasa, namun semua itu terbayar dengan keindahan Sumba di hari ini. Malas rasanya mengingat keesokan hari adalah hari terakhir aku berada di Sumba, namun apa boleh buat, kalau boleh mengutip lirik lagu band rock legendaris asal Inggris, Queen, “show must go on!”, kira-kira begitulah nyanyian oleh lead vocal-nya, Freddie Mercury.
[…] pembaca, sudah agak lama semenjak aku menulis cerita terakhirku di Sumba (Have You Ever Heard of Sumba? – Day 3) , kesibukan (…dan kemalasan) menjadi kendala untuk terus menulis (meskipun yang baca ya gak […]
LikeLike