Tepat pukul 07.00 pada hari keduaku di Sumba, aku dan rombongan bertolak menuju tujuan pertama kami pada hari itu..
Kampung Adat Ratenggaro
Tujuan pertama kami pada hari kedua adalah Kampung Adat Ratenggaro. Berjarak sekitar 45 km dari Tambolaka, perjalanan ke Kampung Adat Ratenggaro ini dapat ditempuh selama 1 jam sampai 1,5 jam dari Tambolaka menggunakan mobil. Kampung Adat Ratenggaro ini memiliki daya tarik berupa rumah adat Sumba (Uma Kalada) yang berbentuk unik. Rumah adat ini memiliki atap yang tinggi menjulang hingga 15 m, yang di dalamnya ternyata digunakan untuk menyimpan benda-benda penting milik sang pemilik rumah.

Selain rumah adat Sumba, terdapat juga ratusan kuburan batu di sekitar perkampungan. Ratenggaro sendiri berasal dari 2 kata yaitu “Rate” yang berarti kuburan dan “Garo” yang berarti orang-orang Garo. Konon katanya, suku yang menjadi penghuni kampung ini dulunya berhasil merebut perkampungan ini dari orang-orang Garo saat masih terjadi perang antar suku. Saat itu, orang-orang yang kalah perang akan dibunuh dan dikuburkan ditempat itu juga, maka banyak terdapat kuburan batu di desa Ratenggaro ini.
Di bagian belakang desa ini juga terdapat pemandangan pantai yang tidak kalah menariknya dari desa adat itu sendiri.

Tanjung Mareha
Setelah berpamitan dengan warga Kampung Ratenggaro, kami bertolak menuju Tanjung Mareha. Tidak jauh, hanya sekitar 30 menit melewati jalan aspal yang sempit, kami sudah sampai. Tanjung yang diapit oleh Pantai Watu Malandong dan Pantai Bawana ini masih sepi (atau memang sepi?) saat kami sampai disana. Kembali menawarkan pemandangan lepas pantai, Tanjung Mareha memang cocok bagi mereka penggemar pemandangan lepas pantai.


Menurut pemandu kami, sebenarnya dari Tanjung Mareha kami dapat turun menuju Pantai Bawana, namun sayangnya, menurut pemandu kami, untuk menuju Pantai Bawana harus turun melalui tebing batu yang terjal dan juga tidak ada pegangan, karena hal itu, aku dan rombongan memutuskan untuk tidak turun ke Pantai Bawana. Kamipun melanjutkan perjalanan kami menuju Danau Weekuri.
Danau Weekuri
Menuju Danau Weekuri dari Tanjung Mareha, kami menempuh perjalanan sekitar 1 jam. Danau Weekuri ini sendiri adalah danau air asin yang terbentuk karena air laut yang lolos melewati batu karang dan kemudian terjebak membentuk danau. Meskipun namanya danau, namun karena masih bersinggungan langsung dengan air laut, maka danau Weekuri ini memiliki arus, meskipun tidak sederas di laut. Danau Weekuri ini juga akan mengalami pasang surut, sesuai dengan pasang surutnya air laut.

Saat pertama melihat danau Weekuri, aku langsung terpana dengan kejernihan air danaunya. Air danaunya benar-benar jernih sehingga dasar danaunya dapat terlihat dengan jelas. Aku dan rombongan memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu, sebelum akhirnya kami nyebur bareng ke Danau Weekuri, ya, kami nyebur tepat di siang bolong! Meski cuaca panas dan panas matahari sangat menyengat, namun ternyata air danaunya cukup dingin, dan kamipun puas, bermain air hingga sore hari.

Di danau Weekuri ini juga ada yang menjual kelapa muda dan berbagai pernak-pernik khas Sumba seperti kalung dan kain Sumba, jadi bagi yang tidak mau berenang di danau, bisa duduk dibawah pohon sembari menikmati kelapa muda, lho!
Sekitar pukul 4 sore, kami naik dan membersihkan diri (ada kamar mandi dan air tawar untuk bilas disana, cukup bayar sekitar Rp 5.000,- per orang). Selesai membersihkan diri, kami menuju tujuan terakhir kami hari itu, yaitu Pantai Mandorak.
Pantai Mandorak
Pantai Mandorak ini terletak tidak jauh dengan Danau Weekuri. Sejatinya dua tempat ini bersebelahan, namun terpisah oleh tebing karang yang tinggi dan tajam. Pantai Mandorak ini masih sangat sepi, hanya ada beberapa warga sekitar yang berjualan sekaligus berjaga disana. Pantai ini masih sangat bersih, memiliki pasir berjenis pasir putih. Pantainya sendiri tidak luas sih, jadi memang enaknya kalau sedang sepi.

Usai berfoto sebentar di pantai, aku yang bosan dengan pemandangan pantai memutuskan untuk mengeksplorasi sedikit ke arah kanan pantai, mendaki tebing batu karang yang ternyata dipenuhi oleh batu karang yang tajam. Jadi kalau pembaca ada yang ingin menaiki tebing batu karangnya, harus berhati-hati, karena karangnya benar-benar tajam.



Waktu menunjukkan pukul 17.00, matahari yang masih cukup tinggi pada saat itu, mengurungkan niat kami untuk menunggu datangnya sunset. Alhasil kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami kembali menuju penginapan. Tentu saja setelah makan malam, tempat makan malam kami di hari kedua bernama Dapur Sumba.

Perut kenyang hati senang, kamipun kembali ke penginapan untuk beristirahat, karena keesokan harinya, perjalanan panjang menuju Waikabubak dan Waingapu sudah menunggu. Cheers~
NB : Semua tujuan wisata diatas tidak memiliki biaya masuk, namun ada buku tamu yang harus diisi, beserta menyerahkan sumbangan. Sumbangan besarnya suka rela, bisa Rp 50.000,- ataupun lebih. Saranku, sesuaikan dengan jumlah orang, relakan sedikit uang anda, karena menjaga tempat wisata ini juga membutuhkan biaya, anggap saja pengganti tiket masuk.
[…] Lapopu ini kami diperbolehkan untuk main air (berenang), namun karena pada hari kemarin (baca : Have You Ever Heard of Sumba? – Day 2) aku sudah puas bermain air di Danau Weekuri, aku memutuskan untuk berfoto saja, dan mempersilahkan […]
LikeLike