Sampai Kapan Bakalan Kangen sama Jogja?

Tanggal 24 Agustus 2017 yang lalu aku akhirnya bisa kembali ke tanah Jogja, tempat dimana aku sempat menimba ilmu dalam dua periode, yaitu tahun 2000-2002 saat aku masih SD dan tahun 2012-2016, saat aku menimba ilmu di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan periode keduaku inilah yang membuat aku selalu kangen akan Jogja.

 

Pembuka singkat diatas menjadi rangkuman masa hidupku selama di Jogja. Memang benar, aku sudah dua kali berdomisili di Jogja, di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memang amat istimewa, terlepas dari banyaknya hotel-hotel baru dan gedung-gedung tinggi disana, tetap saja Jogja adalah sebuah tempat yang…istimewa dan selalu di hati.

Hari Kamis kemarin, tepatnya tanggal 24 Agustus 2017 aku akhirnya kembali ke Jogja, untuk ke 3 kalinya setelah aku bekerja, setelah terakhir kali menginjakkan kaki disana pada bulan Februari 2017. Menggunakan kereta Gaya Baru Malam Selatan Premium seharga Rp 185.000,- dari stasiun Jatibarang, Indramayu, aku menempuh perjalanan selama kurang lebih 7 jam dari pukul 15.41 untuk sampai di stasiun Tugu Yogyakarta pada pukul 23.00.

IMG-20170824-WA0001
KA GBMS Premium, KA kelas Ekonomi dengan interior layaknya kereta eksekutif.

Sesampainya disana, Jogja sudah menunjukkan mengapa ia istimewa, seorang teman kuliah dulu menawarkan untuk menjemputku di stasiun dan mengantarkanku ke hotel (padahal kami jarang sekali kontak, via smartphone saja jarang), langsung saja kuterima tawarannya dan sebelum ke hotel, kami membeli gudeg Ibu Kota, gudeg langgananku dulu yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo di sisi jalan sebelah selatan, dulu waktu masih kuliah sih, sering kesini sama mantan, hahaha…

Untuk informasi, gudeg yang disediakan disini adalah gudeg basah alias di kuahi, berbeda dengan gudeg Yu Djum yang terkenal itu karena Gudeg Yu Djum biasanya Gudeg Kering alias tanpa kuah, tapi rasanya sih sama-sama enak, khusus untuk kreceknya saya lebih suka di Gudeg Ibu Kota yang bukanya pukul 21.00 ini.

Selesai membeli gudeg, kami langsung tancap gas menuju hotel Jl. Affandi (Atau Jl. Gejayan, sekarang memang resminya di Google Maps Jl. Affandi, tapi sepertinya orang-orang Jogja lebih kenal dengan nama Jl. Gejayan). Kebetulan sekali ini ada sahabat karib saya yang juga datang untuk menghadiri wisuda pacarnya, jadi saya numpang di hotel yang sudah di booking olehnya, maklumlah pengiritan.

Akhirnya aku, teman yang menjemputku dan sahabat ku berbincang-bincang, sambil menanyakan kabar masing-masing, dan akhirnya aku menemukan fakta bahwa hanya aku yang masih menjomblo, perbincangan malam hari itu selesai pada pukul 04.30 dini hari, dan akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat.

Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Laboratorium Penyelidikan Tanah

Hei pembaca dari daerah Pulau Jawa bagian barat, untuk informasi, di Yogyakarta ada Atma Jaya dan nama lengkapnya adalah Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan tahun 2017 ini sudah berusia 52 tahun, dan bukanlah cabang dari Universitas Atma Jaya Jakarta. Kutuliskan ini karena sampai sekarangpun orang-orang yang kutemui di Jakarta dan sekitarnya tidak tahu kalau ada Universitas yang bernama Atma Jaya Yogyakarta di Yogyakarta.

Kembali ke cerita awal, hari Jumat, 25 Agustus 2017 kugunakan untuk mengunjungi kembali kampusku dulu. Menemukan adik-adik angkatan yang dulu merupakan praktikan-praktikanku sekarang sudah mulai mengerjakan skripsi menjadi pengingat bahwa aku sudah lulus selama kurang lebih 1,5 tahun, namun tak bosan kukunjungi kampus ini dan benar saja, aku berakhir di Laboratorium Penyelidikan Tanah, Laboratorium terakhirku saat aku masih menjadi asisten praktikum, dua orang asisten baru yang 2 tahun angkatan dibawahku menyambutku, aku balas sambutan mereka, sekaligus menyapa kembali alat-alat laboratorium penyelidikan tanah itu.

Hey, anda boleh bilang saya lebay, berlebihan, alay atau apapun istilah anda, tapi menginjakkan kaki kembali ke tempat dimana banyak terjadi curhatan-curhatan dadakan, wajar kan kalau saya bergumam, “this bring back memories…” dan mulai menyapa alat-alat yang dulu saya gunakan dalam praktikum dan penelitian selama kurang lebih 2 tahun?

Usai mengunjungi lab, saya akhirnya bertemu adik-adik angkatan saya yang akan di wisuda besok, dan seperti biasa, mereka yang baru mau melangkah menuju dunia kerja akhirnya meminta cerita dari saya soal dunia kerja, maklumlah, mereka akan melangkah menuju fase baru dalam kehidupan mereka dan mereka butuh sedikit cerita dari orang-orang yang sudah lebih dulu melangkahkan kaki ke fase tersebut. Dan saat sedang bercerita, akhirnya aku bertemu dengan dosen pembimbing skripsiku, yang kutemui terakhir saat aku meminta tanda tangan beliau sebagai tanda diterimanya revisi naskah skripsiku untuk dikumpulkan ke Tata Usaha kala itu. Sekitar 1 tahun lebih berarti aku tak bertemu dan bahkan belum mengucapkan terima kasih kepadanya (jangan ditiru ya wahai pejuang skripsi, dosen pembimbingmu itu sangat berjasa lho).

Napak Tilas

Sesusai perbincangan dengan dosen pembimbing dan adik-adik kelasku, aku memutuskan untuk melakukan sedikit napak tilas ke tempat-tempat makan yang dulu sering kudatangi, diawali dengan Rumah Makan Mas Kobis yang terletak di Jl. Babarsari, tepat di seberang pom bensin Babarsari, aku menyantap menu favoritku dulu, yaitu terong, kobis goreng dan telur dadar yang digeprek dengan cabe dan minumnya es Nutrisari Jeruk, harganya naik sedikit, tapi masih murah dan rasanya masih enak.

line_1503655881781
Ini yang membuatku kangen Jogja, makanan enak dan murah 😀

Aku kemudian kembali ke hotel, menunggu kembalinya sahabatku yang sedang plesiran dengan keluarga pacarnya, dan pacarnya, melepas rindu yang sudah ditahan selama menjalani LDR alias Long Distance Relationship.

Pukul 19.00, sahabatku kembali ke hotel dan kami memanggil salah satu teman kami untuk datang ke hotel, ini juga salah satu teman baikku saat kuliah, biasa kami panggila “mbah” karena rambutnya yang sudah mulai abu-abu, namun sekarang sudah mulai menghitam semenjak punya gandengan, hahaha…

Kami mengobrol ngalor-ngidul ndak jelas sampai akhirnya kami memutuskan keluar hotel untuk makan tengah malam, ya tengah malah karena memang sudah hampir pukul 00.00 saat kami pergi. Rumah makan yang kami tuju adalah Rumah Makan Samirono yang terkenal dengan satenya.

line_1503680192780
Sate Ayam Samirono, sedikit agak lebih mahal ketimbang rumah makan lain di Jogja, tapi kalau soal rasa, jangan ditanya. Anda harus coba.

Kembali ke hotel, perbincangan kami malam itupun kembali berakhir pada pukul 04.30 dini hari.

Wisuda Atma Jaya Yogyakarta

Hari Sabtu, 26 Agustus 2017 aku mendatangi kampusku kembali, dengan niatan untuk datang memberi selamat kepada beberapa adik angkatanku yang wisuda hari itu. Ini wisuda ketiga yang kudatangi setelah sebelumnya aku datang pada wisuda bulan November 2016 dan Februari 2017. Pertemuan dengan beberapa temanku yang lain menjadi bonus pada hari itu.

Ya, beberapa foto di atas adalah orang-orang yang kudatangi dan kutemui selama wisuda. Well, kalau kalian baca ini, congrats ya sekali lagi! Maaf kalau ada yang gak ada fotonya.

Usai wisuda selesai, aku yang dilanda kebingungan memutuskan untuk membeli makan dan pilihanku jatuh kepada : Rumah Makan Padang Penasaran, terletak di Jl. Babarsari, tepat di sebelah Boutique Ceria Hotel, di sisi timur Jl. Babarsari. Dulu sering banget makan disini, karena kalau lapar tengah malam, ya rumah makan ini yang masih buka.

line_1503739921829
Menu favorit, perkedel dan paru ditambah kuah gulai, merupakan menu favorit pada saat kuliah dulu.

Lanjut, setelah itu aku kembali ke hotel (oh ya sebelumnya aku sudah pindah ke Boutique Hotel Ceria yang kusebutkan tadi) dan beristirahat sebelum akhirnya kedatangan dua adik angkatanku dulu saat kuliah, kami berbincang-bincang sampai sekitar pukul 19.00 dan akhirnya kami harus berpisah karena aku memang punya rencana untuk pergi mencari sate daging haram, hahaha.

Pukul 19.00 kujemput teman jalanku setelah mengisi bensin motor pinjaman (makasih ya yang sudah meminjamkan), dan langsung kami tancap gas menuju daerah Malioboro, Ketandan, karena disana terletak sate babi yang kucari. Sesampainya disana, aku cukup heran karena tempat makan tersebut sepi, biasanya mau duduk saja sampai mengantri, ah tapi tak kupikirkan karena jujur saja aku lebih suka datang ke tempat makan pada saat sepi.

Langsung memesan, aku memesan sate babi dan es sekoteng, sedangkan teman jalanku memesan bakso, sayangnya aku lupa mengabadikan bakso dan es sekotengnya, jadi bagi yang penasaran langsung saja menuju Jl. Maliobor, cari jalan di sebelah kiri atau timur jalan Malioboro yang ada gerbang cinanya, di jalan tersebutlah ada sate babi itu, warungnya sederhana saja, hanya gerobak dan beberapa tempat duduk, kalau anda masih bingung tanya saja dimana lokasi Ketandan.

20170826_201138
Bagi anda penggemar “nguik-nguik” saya merekomendasikan sate ini, sedikit mahal tapi sesuai dengan rasanya.

Setelah makan kami sempat melihat kesenian jalanan di Malioboro, setelah itu teman jalan saya tiba-tiba ingin makan gelato, langsung saja kami menuju Tempo Gelato, di Jl. Prawirotaman.

Sampai di Tempo Gelato, kali ini Tempo Gelato sangat ramai seperti biasanya, tapi seolah memang sudah disediakan tempat, kami langsung dapat tempat parkir, dan juga tempat duduk! Kami membeli 1 gelato seharga Rp. 25.000, 1 saja, soalnya sudah kenyang.

Ya itu yang di atas teman jalan saya, kalau anda sudah baca tulisan-tulisan saya sebelumnya sih mestinya sudah kenal dia ya, hahaha…

Dan karena hari sudah malam, kami memutuskan untuk kembali, sayapun mengantarkan dia ke kostnya yang lama, karena dia menumpang dikamar teman kostnya dulu dan saya kembali ke penginapan untuk beristirahat.

Bertemu dengan “Mantan” Praktikan yang Sudah Mulai Skripsi

Hari Minggu, 27 Agustus 2017 saya menghabiskan waktu dari pagi sampai siang untuk membeli oleh-oleh, mengambil bakpia pesanan di Bakpia 217 yang terletak di Jl. Tengiri 7, di Minomartani, di Utara Yogyakarta, saya memang sudah langganan disana. Kalau anda tertarik bisa cari di Google Maps dengan kata kunci Bakpia 217 karena memang jalannya agak sedikit “njelimet” bagi yang belum biasa jalan-jalan di Jogja. Untuk harganya cukup murah, aku membeli 6 kotak bakpia campur dengan harga 107 ribu. Kemudian siangnya aku menyempatkan diri ke Mamahke Jogja karena ada titipan dari teman di proyek untuk membeli Mamahke. Mamahke sendiri letaknya dekat dengan alun-alun selatan, sekali lagi, karena jalannya agak “njelimet” anda bisa mencarinya dengan kata kunci “Mamahke” di Google Maps. Harganya sendiri berkisar antara 50-60 ribu satu kotaknya.

Tepat jam makan siang, aku memutuskan melakukan napak tilas yang terakhir, yaitu membeli makan siang di Ayam Geprek Bu Rum yang terletak di Papringan, tidak begitu jauh dari Kampus Sanata Dharma dan Kampus Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dulupun aku sering kesini sama mantan…haduhhh.

Sayangnya yang jualan sudah beda semua, sehingga tidak ada satupun yang aku kenal disana, tapi untungnya rasanya tetap sama, dan ramainya pun tetap sama, jadi akhirnya aku memutuskan untuk bungkus saja dan makan di hotel. Untuk yang penasaran, silahkan cari kembali di Google Maps dengan kata kunci “Ayam Geprek Bu Rum”, bukannya tidak ingin menunjukkan, tapi memang tempatnya agak “njelimet”, tapi ya itu istimewanya Jogja, tempat makan enak itu tidak selalu yang buka di tempat yang besar dan di pinggir jalan, justru yang jalannya rada susah dicari itu malah lebih enak.

line_1503814735011
Jangan lihat tampilan, anda harus coba sendiri. Tinggal datang, pilih ayam dan menu tambahan, lalu bilang mau cabe berapa, saya sih beraninya 1 aj, kalau mantan dulu bisa 15 😐

Malamnya, aku memiliki rencana berkumpul dengan “mantan” praktikanku dulu, sayangnya kurang 1 orang tapi tak mengapa. Kami berkumpul di Ayam Penyet Suroboyo di Jl. Affandi/Jl. Gejayan. Sayangnya aku kehabisan tahu gorengnya, padahal itu yang kucari. Tapi tak apalah, yang penting kumpul, ketiga orang “mantan” praktikan inipun pasti senang karena “mantan” asisten praktikumnya datang di akhir bulan, ngajak makan lagi. Memang mereka inilah yang biasa mau kurepotkan kalau aku berkunjung ke Jogja, total sudah 3 kali aku berkunjung ke Jogja semenjak aku menyelesaikan studiku pada bulan Mei 2016.

Daaaaann..berakhir sudah kunjunganku kali ini, aku kembali ke proyek pada keesokan paginya dengan menggunakan KA Fajar Utama YK yang berangkat tepat pukul 07.00 pagi dari stasiun Tugu Yogyakarta. Menggunakan layanan transportasi taksi online untuk menuju Stasiun Tugu, driver-nya kebetulan sangat ramah dan baik, sehingga cukuplah menegaskan bahwa Jogja itu istimewa, istimewa daerahnya, istimewa makanannya, istimewa juga orangnya dan hebatnya, Jogja itu mampu mengubah para pendatang dari berbagai daerah menjadi orang yang istimewa juga. Dalam perjalanan kembalipun aku kembali berhitung, kapan uangku cukup lagi untuk bisa kembali ke Jogja.

20170828_121822
KA Fajar Utama YK, KA kelas bisnis ini mengantarkanku kembali ke Stasiun Jatibarang, Indramayu dalam waktu 5,5 jam dengan biaya Rp 195.000,-.

Sampai bertemu di kisahku berikutnya!

4 thoughts on “Sampai Kapan Bakalan Kangen sama Jogja?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s